Rabu, 22 Januari 2014

Megathrust Mentawai 2014

Di suatu waktu pada Maret 2014, sekitar pukul 10.00 WIB, gempa berkekuatan 8,9 SR mengguncang pesisir barat Sumatra Barat. Gempa berpusat 15 kilometer dari Pulau Siberut dengan kedalaman 12 kilometer. Dalam waktu 7 hingga 10 menit setelah gempa, tsunami setinggi 13,7 meter menghantam Kepulauan Mentawai. 35 menit berikutnya, gelombang setinggi 6,4 meter tiba di Kota Padang. Beberapa pesisir pantai di Aceh, Sumatra Utara dan Bengkulu juga terdampak tsunami.
Demikianlah skenario yang dibuat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dipublikasikan dalam International Table Top Exercise (TTX) Mentawai Megathrust Disaster Exercise (DIREx) di Hotel Pangeran Beach, Padang, 22-25 April 2013.
TTX tersebut merupakan rencana tindak lanjut dari latihan bersama penanggulangan bencana Indonesia dengan mitra internasional terkait ancaman megathrust di Mentawai. Ancaman gempa megathrust berdasarkan publikasi peneliti berada di Kepulauan Mentawai tepatnya Pulau Siberut dengan potensi energi yang tersimpan bisa memuntahkan kekuatan 8,9 SR.
Kegiatan tersebut melibatkan sekitar 251 orang dari 13 negara. Antara lain, negara-negara di ASEAN, Australia, Amerika, beberapa negara Asia Timur, dan beberapa negara dari Eropa.
Kepala BNPB Syamsul Maarif menyatakan, TTX merupakan pelatihan peningkatan kapasitas dan kesiapan penanggulangan bencana terkait potensi megathrust 8,9 SR di Mentawai.
TTX  tersebut, lanjut Syamsul, meliputi pelatihan sistem peringatan dini tsunami, manajemen kedaruratan, mekanisme kerjasama internasional saat bencana termasuk menyangkut mekanisme penggunaan aset-aset militer dalam masa tanggap darurat, peran masyarakat internasional, serta sesi berbagi pengalaman menangani gempa dan tsunami dengan pemerintah Jepang.
"Dari acara ini kita mengharapkan lahir standard operating procedure (SOP), untuk kemudian dipraktekkan dalam gladi posko dan gladi lapangan tahun 2014 mendatang," katanya.
Dari pembelajaran tsunami di Aceh dan potensi ancaman serupa di daerah lain, Syamsul mengungkapkan Indonesia telah memiliki master plan penanganan bencana. Ada empat komponen dalam master plan yakni, penguatan sistem peringatan dini, pembangunan dan peningkatan tempat pengungsian sementara, penguatan kapasitas kesiapan dan pengurangan resiko bencana, serta pengembangan kemandirian menghadapi bencana.
Isu Megathrust dan Kesiapan Kita
Isu gempa megathrust Mentawai mengemuka pascagempa Aceh 2004. Bermula dari hasil penelitian geolog Institut Teknologi California, Kerry Sieh tahun 1994 dan geolog LIPI Danny Hilman Natawijaya, segmen Mentawai yang berlokasi di sisi barat sebelah luar pulau Siberut menyimpan potensi gempa 8,9 SR.
Besarnya kekuatan gempa tersebut akan mengancam 76.173 jiwa penduduk Mentawai yang tersebar di 43 desa di 10  kecamatan. Ancaman akan makin serius bagi penduduk yang bermukim di pesisir pantai.
Dalam scenario yang disusun BNPB, Potensi korban yang meninggal di seluruh wilayah terdampak Sumbar 39.321 jiwa, hilang 52.367 jiwa dan 103.225 jiwa mengungsi.
Dalam pertemuan TTX tersebut, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mentawai  Elisa Siriparang menyatakan, Mentawai sudah menyiapkan sejumlah upaya mengantisipasi datangnya ancaman itu. Upaya-upaya yang telah disiapkan terkait edukasi ke masyarakat bahwa jika terjadi gempa berapapun skalanya, sudah harus mengevakuasi diri.
Selain memberikan edukasi kepada masyarakat, sejauh ini upaya yang sudah dilakukan baru sebatas membuat jalan-jalan evakuasi di desa-desa yang rawan dan posko pengunsiannya.
Namun secara koordinatif dan partisipatif, program mitigasi fisik dan non fisik belum terlihat. Hal tersebut terbaca dalam Peraturan Daerah Penanggulangan Bencana, Rencana Kontingensi dan SOP Penanggulangan Bencana yang masih dalam bentuk draf. Belum satupun menjadi produk aturan yang baku, apalagi peta zonasi daerah rawan bencana dan rencana aksi.
Apalagi prosedur komunikasi dan informasi saat bencana terjadi karena Mentawai termasuk wilayah dengan akses komunikasi yang minim baik dari sarana komunikasi telepon maupun ketersediaan listrik. Pemerintah Mentawai belum menyiapkan prosedur peringatan dini yang cocok untuk memperingatkan masyarakat saat gempa terjadi dan datangnya ancaman tsunami.
“Karena begitu gempa terjadi, sinyal Telkomsel rusak, radio kita tidak punya untuk menyampaikan informasi, kalaupun ada masih terbatas jangkauannya,” katanya pada pertemuan, 23 April.
Padahal di dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Mentawai yang disusun BPBD Mentawai, sejumlah SKPD dan beberapa LSM yang bergerak di bidang kebencanaan, disebutkan kerentanan Mentawai dalam penanggulangan bencana dikategorikan secara fisik, ekonomi dan sosial budaya.
Secara fisik, prosedur-prosedur belum tersedia untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atas proyek-proyek pembangunan besar terutama infrastruktur. Metode riset dan alat untuk penilaian multirisiko dan analisis manfaat dan biaya belum dikembangkan. Kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana pembangunan sosial belum efektif dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko. Sistem peringatan dini belum tersedia untuk semua bahaya utama dengan jangkauan ke masyarakat-masyarakat. Sarana penyediaan air bersih belum memadai di beberapa daerah. Sebagian besar masyarakat tinggal di sepanjang pantai. Jalur evakuasi belum memadai. Fasilitas dan tenaga kesehatan belum memadai.

Secara ekonomi, rencana dan kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi belum optimal dilaksanakan untuk mengurangi kerawanan kegiatan-kegiatan ekonomi. Cadangan finansial dan mekanisme antisipasi belum memadai untuk mendukung sambutan efektif dan pemulihan bila diperlukan.

Sedangkan secara sosial budaya, kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup konsep dan praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan pemulihan belum tersedia. Penilaian risiko lokal dan nasional berdasarkan data bahaya dan informasi kerentanan meliputi penilaian risiko untuk sektor-sektor utama belum tersedia dan belum optimalnya sistem-sistem untuk memantau, mengarsipkan, dan menyebarluaskan data tentang bahaya-bahaya dan kerentanan-kerentanan utama.

Terkait soal kurikulum, Kepala Dinas Pendidikan Mentawai, Syaiful Jannah, mengatakan, sejauh ini soal kebencanaan belum dimasukkan ke dalam kurikulum. “Tentu kita koordinasi dulu dengan bupati. Seandainya ini perlu, kita akan melakukan pelatihan terkait dengan dengan menghadapi bencana,” kata Syaiful kepada Puailiggoubat, Senin, 29 April.

Mitigasi Bencana dan Masyarakat Lokal
Penanganan bencana haruslah berbasiskan komunitas masyarakat lokal. Hal tersebut tertulis dalam kebijakan draf rencana kontingensi yang sudah disusun Pemda Mentawai. Penanganan bencana yang tidak berbasiskan nilai-nilai lokal akan mencerabut tatanan nilai masyarakat.
Staf Yayasan Citra mandiri Mentawai, Pinda Tangkas Simanjuntak, yang ikut hadir dalam TTX mengatakan, konsep yang dibangun dalam SOP belum melibatkan masyarakat Mentawai.
“Kalau SOP itu belum digunakan Pemda sebagai acuan emergency respon, maka jika  gempa megathrust terjadi sebelum SOP disosialisasikan akan lebih banyak korban karena masyarakat belum tahu prosedur penanganan bencana,” kata Pinda, 29 April.
Penanganan bencana yang tidak berbasis komunitas masyarakat lokal akan memunculkan masalah baru. Pinda mencontohkan, saat penanganan bencana 2010, masyarakat Mentawai dipaksa untuk pindah pemukiman tanpa mempertimbangkan akses terhadap ekonomi mereka.
Koordinator Program Kebencanaan YCMM saat tsunami 2010 ini menambahkan, konsep pembangunan hunian tetap yang ala perkotaan, mengakibatkan korban yang direlokasi kehilangan relasi antar mereka.
“Masyarakat Mentawai biasa hidup berkelompok utama sesama Uma, kini terpaksa terpisah. Misal warga Dusun Purorougat, Desa Betumonga, umumnya saling berkerabat, tapi akibat relokasi itu mereka terpisah, ada di KM 37, ada di Km 38, Km 40,” kata Pinda. (Yuafriza, Patrisius Sanene)
sumber : http://www.puailiggoubat.com

Mars Palang Merah Indonesia


Palang Merah Indonesia
Sumber kasih umat manusia
Warisan luhur, nusa dan bangsa
Wujud nyata pengayom Pancasila
Gerak juangnya keseluruh nusa
Mendarmakan bhakti bagi ampera
Tunaikan tugas suci tujuan PMI
Di Persada Bunda Pertiwi
Untuk umat manusia
Di seluruh dunia
PMI menghantarkan jasa

7 Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah & Bulan Sabit Merah Internasional

1. Kemanusiaan
Gerakan Palang Merah dan Bulan sabit Merah Internasional didirikan berdasarkan keinginan memberi pertolongan tanpa membedakan korban yang terluka di dalam pertempuran, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.

2. Kesamaan
Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama atau pandangan politik. Tujuannya semata-mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan medahulukan keadaan yang paling parah.

3. Kenetralan
Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.

4. Kemandirian
Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan nasional disamping membantu Pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.

5. Kesukarelaan
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apa pun.

6. Kesatuan
Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.

7. Kesemestaan
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah bersifat semesta. Setiap Perhimpunan Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.

Kamis, 09 Januari 2014

SEJARAH SINGKAT PALANG MERAH INDONESIA

Pada tgl 3 September 1945, Presiden Soekarno memerintahkan kepada menteri kesehatan Dr. Buntara Martoatmojdo untuk membentuk suatu Badan Palang Merah Nasional untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan negara Indonesia adalah suatu fakta nyata setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 .
Pada 5 September 1945, Dr. Buntaran membentuk 5 panitia untuk mempersiapkan pembentukkan Palang Merah Indonesia yang terdiri dari :
- Dr. R. Mochtar
- Dr . Bahder Johan
- Dr. Joehana
- Dr. Marjuki
- Dr. Sitanala
Tepat pada tgl 17 September 1945 terbentuklah pengurus besar Palang Merah Indonesia (PMI) dengan ketua pertama Drs. Mohammad Hatta . PMI telah berdiri di 33 Provinsi, 371 Kabupaten/Kota dan 2654 Kecamatan (data per Maret 2010 )
Adapun tugas PMI berdasarkan Keppres RIS no,25 tahun 1963 adalah untuk memberi bantuan pertama pada korban bencana alam dan korban perang sesuai bdengan isi Konvensi Jenawa 1945.
Saat ini kegiatan-kegiatan PMI meliputi :
1. Penanggulangi Bencana
2. Pelayanan Kesehatan
3. Pembinaan Generasi Muda
4. Diseninasi hukum kemanusiaan internasional, dan
5. Tugas khusus yaitu pelayanan donor darah.

Minggu, 05 Januari 2014

siapa KSR PMI Unit 01 Unsyiah...?


KSR PMI Unit 01 Universitas Syiah Kuala





Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) Unit Perguruan tinggi merupakan suatu unit didalam perhimpunan Palang Merah Indonesia yang merupakan wadah kegiatan atau wadah pengabdian bagi anggotanya yang memberikan pertolongan atau bantuan bagi yang membutuhkan dalam unit atau dimanapun saat terjadinya suatu bencana maupun musibah lainnya.
Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) Unit 01 Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) merupakan unit didalam perhimpunan Palang Merah Indonesia yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus Universitas Syiah Kuala. Sruktur organisasi KSR PMI Unit 01 Unsyiah dibawah pembinaan Pembantu Rektor III Universitas Syiah Kuala dan Ketua PMI Cabang Kota Banda Aceh.



KSR PMI Unit Unit 01 Unsyiah merupakan ujung tombak Palang Merah Indonesia dalam hal melakukan tugas – tugas kemanusiaan dalam membantu sesama. Tugas yang dilakukan selalu didasari oleh Tujuh Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tujuh Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yaitu : Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan. Prinsip yang diemban ini harus bisa mencapai sasaran yang dimaksud sehingga masyarakat bisa merasakan manfaatnya. Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu : Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Serta pedoman teknis KSR PMI Unit 01 Unsyiah menggunakan Pedoman Manajemen Relawan KSR-TSR dan pedoman KSR PMI Unit 01 Universitas Syiah Kuala


KSR PMI Unit 01 Unsyiah didirikan pada tanggal 4 Juni 1995 dengan pendiri nya bernama Kak Cut Faisal Syahputra dengan komandan pertama Kak Suburhan Pagan. Semenjak didirikan sampai sekarang tahun 2011 KSR PMI Unit 01 unsyiah telah melahirkan ribuan relawan yang telah membuktikan dedikasi dalam menjalankan misi kemanusiaan. Organisasi ini memiliki satu Unit Markas sebagai sekretariat di Gelanggang Mahasiswa Unsyiah dan memiliki Satu Unit Pos Pelayanan Pertama Pertama (P4) dan Gudang yang terletak di Tower Air kampus Unsyiah


B. VISI DAN MISI


Visi :
Relawan Unsyiah siap menyediakan dan memberikan pelayanan kepalangmerahan dengan cepat dan tepat.



Misi :
1-- Menyebarluaskan dan mendorong aplikasi secara konsisten Prinsip prinsip Dasar Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.



2-- Berperan aktif dalam penanganan bahaya HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA di lingkungan kampus maupun masyarakat.


3-- Menggerakan generasi muda khususnya mahasiswa dan pelajar dalam tugas-tugas kemanusiaan.

4-- Pengembangan dan penguatan kapasitas organisasi di seluruh jajaran KSR-PMI guna meningkatkan kualitas potensi sumber daya manusia, sumber daya dan dana agar visi, misi dan kegiatan KSR- PMI dapat diwujudkan secara berkesinambung.


5-- Membantu PMI dalam menjalankan Tugas Kemanusiaan tidak terlepas dari tujuh prinsip dasar Palang Merah dan bulan Sabit merah internasional dan Tri Dharma Perguruan Tinggi.